Islam sebagai sebuah agama tidak mungkin
dipisahkan dari realita hidup bermasyarakat. Mengapa demikian? Tentu saja jelas
alasannya; karena Islam itu sendiri hadir di atas muka bumi ini semenjak dulu
kala. Dan Islam itulah yang mempersatukan umat manusia sebelum mereka
berselisih dan menyempal ke dalam berbagai jalan yang menyimpang.
Allah ta'ala berfirman (yang
artinya), “Manusia itu (dahulunya ) satu umat. Lalu Allah mengutus para
nabi (untuk) menyampaikan kabar gembira dan peringatan. Dan diturunkan-Nya
bersama mereka Kitab yang mengandung kebenaran, untuk memberikan keputusan di
antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan...” (QS. al-Baqarah: 213)
Dalam sebuah riwayat dengan sanad sahih dari
Ibnu Abbas yang dibawakan oleh Ibnu Abi Hatim dan yang lainnya, ketika
menjelaskan makna ayat “Manusia itu (dahulunya ) satu umat.” Ibnu Abbas
berkata, “Mereka semuanya dahulu berada di atas Islam.” Demikian juga
al-Bazzar dan yang lainnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas, beliau berkata, “Rentang waktu antara
Adam dan Nuh adalah sepuluh kurun/abad. Mereka semuanya berada di atas syari'at
yang benar, kemudian mereka pun berselisih. Setelah itu Allah pun mengutus
nabi-nabi.” (lihat Nashihah ila Jama'ah
al-Ikhwan al-Muslimin oleh Syaikh Abdullah al-Ubailan, hal. 1)
Itulah wajah Islam di awal mula sejarah umat
manusia di atas muka bumi ini beribu-ribu tahun yang silam. Demikian pula
halnya seluruh para nabi yang Allah utus, mereka sepakat dalam asas ajaran
Islam yaitu tauhid; mengesakan Allah dalam beribadah. Meskipun dalam tataran
syari'at bisa jadi berlainan. Allah ta'alaberfirman (yang
artinya), “Tidaklah Kami mengutus sebelum kamu seorang rasul pun melainkan
Kami wahyukan kepadanya; bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- selain Aku
(Allah), oleh sebab itu sembahlah Aku (saja).” (QS. al-Anbiya': 25).
Allah ta'ala berfirman (yang
artinya), “Bagi masing-masing umat Kami jadikan syari'at dan jalan.” (QS. al-Ma'idah: 48). Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda, “Kami segenap para
nabi adalah anak-anak sebapak -dengan ibu yang berbeda-, sedangkan agama kami
ini adalah sama.” (HR. Bukhari dan Muslim). Ini menunjukkan
bahwa dakwah seluruh nabi adalah sama yaitu tauhid, meskipun syari'atnya
berlainan (lihat Nashihah ila Jama'ah al-Ikhwan al-Muslimin, hal. 2)
Orang-orang musyrik pun memahami bahwa maksud
dari dakwah para rasul itu adalah supaya masyarakat mengesakan Allah dalam
beribadah. Yaitu tidak boleh menujukan ibadah kepada selain Allah, atau
mempersekutukan selain-Nya dalam hal ibadah. Allah ta'ala menceritakan
tanggapan mereka (yang artinya), “Apakah dia
-Muhammad- hendak menjadikan sesembahan-sesembahan itu menjadi satu
sesembahan saja?!” (QS. Shaad: 5). Demikian pula reaksi kaum 'Aad terhadap
dakwah Nabi Hud 'alaihis salam. Mereka berkata (yang artinya), “Apakah kamu datang
kepada kami agar kami menyembah Allah semata dan meninggalkan apa-apa yang
disembah -secara turun temurun- oleh nenek moyang kami?!” (QS. al-A'raaf: 70)
Ayat-ayat di atas menggambarkan kepada kita
dengan jelas bahwa reaksi masyarakat yang menentang dakwah para rasul adalah
realita di dalam sejarah internasional. Di antara alasan yang kerapkali
dibawakan adalah demi mempertahankan warisan budaya nenek moyang [!].
Allah ta'ala berfirman (yang artinya),“Dan apabila dikatakan
kepada mereka, 'Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah'. Mereka menjawab,
'(Tidak!) Kami mengikuti apa yang kami dapati pada nenek moyang kami
(melakukannya).' Padahal, nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa pun, dan
tidak mendapat petunjuk.” (QS. al-Baqarah: 170)
Pertanyaan selanjutnya yang menggelitik
pikiran kita adalah; lalu bagaimana dengan konteks Indonesia? Apakah realita
semacam ini juga yang terjadi? Supaya ruang lingkup pembicaraan ini tidak
melebar kemana-mana maka marilah kita fokuskan dalam masalah tauhid saja; yang
kita semua mengetahui bahwa ini merupakan asas ajaran agama kita.
Adalah sebuah fakta sejarah yang tidak bisa
dipungkiri bahwa kebudayaan berhala telah berkembang di negeri ini semenjak
dahulu kala. Tidak terhitung tempat-tempat yang dianggap keramat, dijadikan
sebagai tempat sesaji, demikian pula patung-patung dan candi-candi yang
menandai gaya hidup paganisme yang telah mengakar di sebagian masyarakat. Tidak
sedikit sosok mistis yang diagung-agungkan dan dianggap memiliki pengaruh
terhadap kehidupan. Benda-benda 'sakti' dan pusaka pun dikeramatkan. Berbagai
ritual persembahan pun dilakukan. Entah yang berlokasi di atas gunung, di
tengah kota, di pedesaan, sampai pun di pesisir pantai. Tradisi yang erat
dengan keyakinan nenek moyang, yang terwarnai oleh kesyirikan (silahkan baca
sebuah buku menarik berjudul Bahaya..!!! Tradisi Kemusyrikan Di Sekitar
Kita tulisan H.
Willyuddin A.R. Dhani, S.Pd)
Sayangnya, sebagian kalangan yang
disebut-sebut sebagai intelektual muslim -sadar ataupun tidak- 'menutup-nutupi'
realita pahit ini dengan kedok menjaga kebhinekaan bangsa [?!] Dengan cara-cara
yang halus dan samar mereka menolak arus pemurnian yang diserukan oleh para
da'i -di antaranya dipelopori oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan, Tuanku Imam Bonjol,
dan tokoh yang lainnya- untuk membersihkan kehidupan masyarakat dari berbagai
bentuk takhayul, bid'ah dan churafat (TBC). Yang dalam bahasa kita sekarang
bisa diungkapkan dengan slogan 'Memurnikan Aqidah dan
Menebarkan Sunnah'... Seolah-olah perjuangan yang dilakukan oleh para kyai dan
da'i tersebut adalah gerakan ekstrem yang agresif, beringas,
intoleran, dan penuh kebencian (lihat tuduhan ini dalam kata pengantar KH. Abdurrahman
Wahid; Ilusi Negara Islam, hal. 20)
Tidak berhenti di situ saja, mereka -kaum
liberal- pun menuduh gerakan dakwah tauhid sebagai proyek Wahabisasi global.
Yang kita bicarakan di sini, bukanlah gerakan tarbiyah yang diusung oleh
kader-kader salah satu partai politik di negeri ini (tidak perlu kami sebutkan
karena sudah sangat populer). Bukan pula gerakan politik ala kelompok dakwah
yang senantiasa mendengung-dengungkan khilafah sebagai solusi atas segala
problematika umat. Bukan pula sekelompok rakyat sipil yang gemar melakukan
penggrebekan tempat-tempat maksiat dengan dalih amar ma'ruf nahi mungkar. Bukan
itu yang kita maksudkan. Pembicaraan mengenai ketiga kelompok itu ada tempatnya
tersendiri.
Sesungguhnya yang menjadi sasaran utama
serangan propaganda ini adalah dakwah tauhid yang mereka gelari dengan sebutan Wahabi. Orang awam tentu
akan merasa ngeri dengan istilah-istilah menakutkan yang dimunculkan oleh para
pengusung pemikiran liberal ini. Di antara istilah yang sering dipakai adalah
istilah kelompok garis keras. Gus Dur berkata, “...Kami berpedoman
pada paham Ahlussunnah wal Jama'ah, sementara mereka -kelompok garis keras-
mewarisi kebiasaan ekstrem Khawarij yang gemar mengkafirkan dan memurtadkan
siapa pun yang berbeda dari mereka, kebiasaan buruk yang dipelihara oleh Wahabi
dan kaki tangannya.” (Ilusi Negara Islam, hal. 21-22). Di bagian lain dari buku ini
pun mereka mengamini penyebutan Wahabi sebagai reinkarnasi Khawarij (lihat Ilusi Negara Islam, hal.
100)
Bukan itu saja tuduhan yang mereka lemparkan.
Dengan begitu berapi-apinya mereka menjauhkan umat dari dakwah tauhid ini
dengan dalih menyelamatkan umat dari cengkeraman Wahabisasi Global dan dalam rangka
mengembalikan kemuliaan dan kehormatan Islam yang telah ternodai. Gus Dur
kembali melemparkan fitnahnya, “... Arus dana Wahabi
yang tidak hanya membiayai terorisme tetapi juga penyebaran ideologi dalam
usaha wahabisasi global juga nyaris luput dari perhatian publik. Selama ini,
arus dana Wahabi ke Indonesia tidak mendapat perhatian publik secara serius,
padahal dari sinilah fenomena infiltrasi -penyusupan- paham garis keras
memperoleh dukungan dan dorongan yang luar biasa kuat sehingga menjadi bisnis
yang menguntungkan banyak agennya.” (Ilusi Negara Islam, hal. 36)
Di dalam catatan kaki buku tersebut pun
disebutkan sebuah 'berita' yang terkesan sangat mengerikan dan mengancam umat
Islam di berbagai belahan penjuru dunia. Dalam hal ini mereka telah berterus
terang bahwa yang mereka maksud dengan Wahabi itu adalah Arab Saudi. Mereka
berkata, “Aktivitas Saudi di Indonesia hanya merupakan bagian kecil dari
kampanye senilai US $ 70.000.000.000,- selama kurun waktu antara 1979-2003
untuk menyebarkan sekte fundamentalis Wahabi di seluruh dunia. Usaha-usaha
dakwah Wahabi yang terus meningkat ini merupakan “kampanye propaganda terbesar
di seluruh dunia yang pernah dilakukan -anggaran propaganda Soviet pada puncak
Perang Dingin menjadi sangat kecil dibandingkan belanja propaganda Wahabi ini.” (lihat Ilusi Negara Islam, hal. 39). Tidak aneh
jika mereka terkesan menyejajarkan 'bahaya' Wahabi ini dengan bahaya laten
Komunis! Gus Dur menyebut Wahabisasi sebagai gerakan yang merusak Islam
Indonesia yang spiritual, toleran, dan santun, dan mengubah Indonesia sesuai
dengan ilusi mereka tentang negara Islam yang di Timur Tengah pun tidak ada [?]
(Ilusi Negara Islam, hal. 39).
Gus Dur juga berkata, “Dengan balutan jubah
dan jenggot Arab yang ditampilkan, yang oleh beberapa pihak telah dipandang
lebih tampak seperti preman berjubah, mereka ingin menunjukkan seolah-olah
pandangan ekstrem yang mereka teriakkan dan paksakan memang benar-benar
merupakan pesan Islam yang harus diperjuangkan. Padahal, mereka merusak agama
Islam dan bertanggung jawab atas banyaknya kekerasan yang mereka lakukan atas
nama Islam di Indonesia dan seluruh dunia. Dan kita sebagai umat Islam harus
menanggung malu atas perbuatan mereka.” (Ilusi Negara Islam, hal. 39). Semakin
lengkap sudah gelaran buruk yang disematkan oleh mereka kepada Wahabi agar umat
benar-benar menjauhi dakwah mereka...
Para peneliti yang menulis buku tersebut ingin
menjelaskan kepada kita apa sesungguhnya yang mereka maksud dengan istilah
Wahabi. Coba kita simak propaganda mereka! Dengan fasihnya mereka berkata,“Wahabi adalah sebuah
sekte keras dan kaku pengikut Muhammad ibn 'Abdul Wahhab.” (Ilusi Negara Islam, hal. 62). Di bagian
lain buku ini, mereka semakin mempertegas bahwa yang mereka maksud dengan
Wahabi tidak lain adalah Salafi (lihat Ilusi Negara Islam, hal. 95). Apa yang
tertanam dalam pikiran orang yang membaca definisi di atas? Ya... Wahabi itu
keras dan kaku... Betapa keji tuduhan yang mereka lemparkan! Mereka juga
mengatakan, “Islam yang sangat apresiatif dan penuh perasaan dalam merespon
permasalahan umat, di tangan Ibn 'Abdul Wahhab berubah menjadi tak peduli,
keras, dan tak berperasaan.” (Ilusi Negara Islam, hal. 63)
Demikianlah, kedustaan seolah-olah telah
menjadi sedemikian murah-meriah bagi para pengusung pemikiran liberal ini.
Dengan entengnya mereka mengatakan tentang Wahabi, “Setiap Muslim yang
tidak mempunyai pemahaman dan praktik ajaran Islam yang persis seperti Wahabi
dianggap murtad, karenanya perang dibolehkan, atau bahkan diwajibkan, terhadap
mereka...” (lihat Ilusi Negara Islam, hal. 67). Maha suci Allah,
sungguh ini adalah kedustaan yang sangat besar!
Sudah banyak bantahan ilmiah dan santun untuk
tuduhan-tuduhan 'emosional' semacam ini. Padahal, dakwah salafiyah beserta para
ulamanya -yang dijuluki 'Wahabi' dalam rangka membuat orang lari darinya-
berlepas diri dari segala tuduhan keji tersebut. Salafiyah itu sendiri adalah
ajaran yang diwariskan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam dan para
sahabatnya. Sebuah ajaran yang menebarkan rahmat bagi semesta alam. Ajaran yang
memberikan bimbingan bagi umat manusia dalam segala sudut kehidupan. Ajaran
yang sempurna, yang diturunkan oleh Rabb penguasa alam semesta.
Erat kaitannya dengan tema awal tulisan ini,
yaitu menyoroti dakwah tauhid sebagai seruan yang mendapatkan penentangan dari
umat para rasul, dan apakah fenomena serupa juga terjadi di Indonesia. Maka,
perkenankanlah kami untuk menunjukkan kepada segenap pembaca sebuah penafsiran
aneh bin ajaib yang dilakukan oleh para penyusun buku Ilusi yang telah
berulang kali kita singgung dalam tulisan ini. Sebuah penafsiran yang lebih
tepat disebut sebagai pemerkosaan terhadap dalil agama yang suci dan suatu
kekeliruan fatal dalam memahami maksud firman Allah dan sabda Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa
sallam. Satu bukti ini saja
sudah cukup membuktikan kepada kita seperti apa sebenarnya pemahaman mereka
tentang aqidah Islam. Allahul musta'aan...
Mereka -dengan tanpa rasa malu- memberikan
penjelasan sebagai berikut: “Dalam hubungannya dengan agama-agama lain, dengan
indah Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam, pen- menuturkan, “Nahnu abna'u 'allat,
abuna wahid wa ummuna syatta” (Kami [para rasul] adalah anak-anak para istri dari
seorang laki-laki, ayah kami satu namun ibu kami banyak). Dalam keluarga umat
manusia, para rasul mempunyai ayah (agama) yang sama yakni Islam (dalam arti
berserah diri kepada Tuhan), namun mempunyai ibu (syi'rah wa minhaj) yang
banyak/berbeda-beda.” Kemudian mereka menyimpulkan hadits itu dengan
licik, “Ini adalah pengakuan atas pluralisme, dan inilah yang ditolak
oleh kelompok garis keras.” (lihat Ilusi Negara Islam, hal. 102-103)
Penjelasan di atas mengandung banyak kontradiksi
dan kerancuan, di antaranya:
Kerancuan Pertama:
Mereka membawakan hadits tersebut dalam
konteks hubungan Islam dengan agama-agama lain. Padahal, sebagaimana bisa kita
saksikan bersama bahwa sesungguhnya hadits tersebut tidak membicarakan hubungan
antara Islam dengan agama-agama lain. Karena sebagaimana disebutkan dalam
hadits ini -mungkin mereka enggan untuk menampilkannya secara tegas dan
lengkap- bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Agama kami -para
rasul- adalah satu.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dari sini kita
mengetahui bahwa hadits ini berbicara mengenai agama para nabi itu adalah
Islam, walaupun syari'atnya berlainan, namun pokoknya adalah sama yaitu tauhid
(silahkan baca juga QS. an-Nahl: 36). Jadi, hadits ini bukan berbicara tentang
agama selain Islam.
Kerancuan Kedua:
Penyelewengan penafsiran di atas tidak lain
muncul dari kerancuan mereka dalam memahami makna Islam. Oleh sebab itu mereka
memberikan penjelasan di dalam tanda kurung tentang Islam yang menjadi agama
para rasul itu, dalam pandangan mereka. Islam, dalam arti berserah diri kepada
Tuhan, demikian penafsiran
mereka. Inilah kebiasaan buruk para pemuja pemikiran liberal! Mereka menuduh
orang lain kaku dan tekstualis dalam menafsirkan dalil. Sementara dalam kasus-kasus
tertentu, mereka justru lebih tekstualis dan lebih kaku dalam memahami dalil.
Lihatlah, dalam memaknai Islam di sini mereka
mencukupkan diri dengan makna bahasanya saja. Yaitu Islam dengan pengertian
berserah diri kepada Tuhan, sebuah penafsiran yang teramat sempit dan bahkan
tidak jelas. Konsekuensi dari penafsiran mereka ini adalah pemeluk agama apa
pun adalah muslim, selama mereka berserah diri kepada Tuhan. Padahal, kalau
kita mau sedikit saja membuka cakrawala, menelaah ayat-ayat dan hadits-hadits
lain, atau kalau sempat ya membaca tafsir para ulama kita
terdahulu, akan tampak dengan jelas bagi kita bahwa yang dimaksud dengan Islam
di sini bukan sekedar berserah diri kepada Tuhan!
Dalam al-Qur'an, ayat semacam itu banyak kita
temukan. Di antaranya sudah kami sebutkan di depan. Allahta'ala berfirman (yang
artinya), “Tidaklah Kami mengutus sebelum kamu seorang rasul pun melainkan
Kami wahyukan kepadanya; bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- selain Aku
(Allah), oleh sebab itu sembahlah Aku (saja).” (QS. al-Anbiya': 25). Allah ta'ala juga berfirman
(yang artinya), “Sungguh, Kami telah mengutus kepada setiap
umat, seorang rasul -yang mengajak-; Sembahlah Allah dan jauhilah
thaghut/sesembahan selain Allah.” (QS. an-Nahl: 36). Allah ta'ala berfirman (yang
artinya), “Barangsiapa yang mencari agama selain Islam, maka tidak akan
diterima, dan dia di akhirat akan termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Ali Imran: 85)
Demikian pula di dalam hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam, akan kita temukan penjelasan-penjelasan
yang gamblang tentang apa hakikat dari Islam yang sekarang ini diwajibkan
-bukan dipaksakan- oleh Allahta'ala kepada umat manusia. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda, “Demi Tuhan yang jiwa
Muhammad berada di tangan-Nya. Tidaklah seorang pun di antara umat ini yang
mendengar kenabianku, entah dia beragama Yahudi atau Nasrani, kemudian dia
meninggal dalam keadaan tidak mengimani ajaran [Islam] yang aku bawa, kecuali
dia pasti termasuk penghuni Neraka.” (HR. Muslim). Demikian pula
ketika Jibril datang kepada Nabi kemudian menanyakan tentang makna Islam, Iman,
dan Ihsan. Semuanya telah diterangkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam dengan gamblang.
Sudah selayaknya para cendekiawan itu kembali merenungi perkataan Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam dan lebih
mempercayainya daripada ucapan kaum Orientalis dan para pakar filsafat yang
senantiasa dirundung oleh keragu-raguan.
Demikian pula di dalam tafsir para ulama
tentang Shirathal Mustaqim (jalan yang lurus). Akan kita dapati bahwa hakikat jalan
yang lurus itu -pada zaman kita sekarang ini- hanya ada pada agama Islam yang
diajarkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Di antara
penafsiran Shirathul Mustaqim yang disebutkan oleh Imam Ibnu Katsir adalah: [1]
Mengikuti Allah dan Rasul, [2] Ibnu Abbas menjelaskan bahwa jalan yang lurus
itu adalah Kitabullah (al-Qur'an), [3] Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud dan para sahabat
yang lain mengatakan bahwa maksudnya adalah agama Islam, [4] Mujahid
menafsirkan jalan yang lurus itu dengan kebenaran, [5] Menurut Abul 'Aliyah,
maksudnya adalah jalan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan kedua
sahabatnya -Abu Bakar dan Umar-. Semua penafsiran ini adalah benar dan tidak
bertentangan. Bahkan, di dalam hadits yang sahih telah ditegaskan oleh
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa Yahudi sebagai golongan yang
dimurkai/al-maghdhubi 'alaihim, sedangkan Nasrani sebagai golongan yang
sesat/adh-dhallin (lihat Tafsir al-Qur'an al-'Azhim [1/36-39])
Kerancuan Ketiga:
Mereka -setelah terjatuh dalam berbagai
kerancuan- akhirnya menarik sebuah kesimpulan yang merupakan komplikasi akibat
kerancuan-kerancuan yang mengendap sebelumnya, bahwa hadits tersebut -para nabi
itu saudara seayah dan berbeda ibu- menjadi sebuah pengakuan (pembenaran) atas
pluralisme yang mereka gembar-gemborkan dengan segala pengorbanan. Sungguh
memalukan, sekaligus realita yang teramat pahit dan memilukan! Lalu siapakah
sebenarnya orang yang rela menjual agamanya kalau demikian
kenyataannya?
Sebagai penutup, ada sedikit pesan untuk para
pemuda yang begitu bersemangat membela Islam dan bertekad untuk menerapkannya
di segala lini kehidupan namun tidak mengikuti manhaj Salafus Shalih dalam
dakwahnya. Ketahuilah, bahwa kesan negatif yang muncul mengenai dakwah Islam
itu -berupa kekerasan dan sikap-sikap yang tidak bijak- adalah realita yang
tidak bisa kita pungkiri muncul dari sebagian kaum muslimin yang tidak paham
terhadap ajaran agamanya. Padahal, jika kita tulus dan serius mengikuti jalan
tauhid ini niscaya kita akan menemukan wajah Islam yang sesungguhnya. Wajah
yang mulia dan membuat bangga pemeluknya. Allahul musta'aan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas kunjungan dan komentar agan, semoga semua isi biarkan aku tetap bermimpi bisa bermanfaat.